MIRAS, LABEL HARAM, DAN DAKWAH KEKUASAAN

Oleh ENJANG MUHAEMIN

Minuman keras kembali memakan korban. “Tidak ada kata kapok. Lagi-lagi minuman keras oplosan merenguk nyawa penenggaknya…. Dua tetangga yang masih bertetangga itu tewas diduga akibat meneggak oplosan jamu dicampur minuman keras dalam dua hari berturut-turut.”
(Pikiran Rakyat, 5 Juni 2010)

BELAKANGAN, korban tewas yang menimpa para pelaku ‘pesta minuman keras’ (miras) kian sering dipublikasikan media massa. Bukan hanya diberitakan media cetak, tetapi juga disiarkan radio, dan ditayangkan televisi. Namun anehnya, mereka yang terbiasa dengan barang haram ini masih saja tidak jera. Kendati korban terus berjatuh, para pecandu miras pun tetap jalan terus. Mereka, dalam bahasa Alqur’an, tak ubahnya orang yang sudah masuk dalam kategori summum ngumyun, punya telinga tapi tidak mendengar, punya mata tapi tak melihat. 

Bagi tipologi manusia yang demikian tentu saja butuh cara lain. Informasi dan bukti yang disodorkan media massa nyatanya tidak banyak membantu untuk menghentikan mereka. Mereka sudah kebal, sudah immun. Daya tembus ‘peluru’ media menjadi tumpul, karena tembok baja yang mereka bangun sudah begitu tebal dan kuat. 

Dalam perspektif dakwah, untuk mengubah perilaku orang semacam ini, juga tidak mudah. Butuh cara dakwah yang tepat. Baginda Rasul SAW pernah menegaskan, “Barangsiapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Bila kamu tidak mampu, maka ubahlah dengan lisanmu. Bila tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hatimu, dan ini adalah yang selemah-lemahnya iman.”

Ubahlah dengan “tanganmu” bukan hanya dimaknai tangan dalam arti anggota badan semata. “Tangan” dalam konteks ini, juga harus dimaknai sebagai kekuasaan. Bagi para pecandu miras, keharaman minuman keras tidak begitu efektif bila hanya dilisankan semata. Dakwah-dakwah bil-lisan para kiai, bagi mereka, menjadi tidak banyak berarti. Hanya berpengaruh sebatas kognitif, dan afektif saja. Mereka sudah paham dan yakin bahwa miras adalah haram. Tapi keharaman itu sendiri tidak serta merta membuat mereka berhenti mengonsumsinya. 

Dalam konteks tersebut, ‘tangan’ dalam makna kekuasaan wajib menjadi jalan keluarnya. Campur tangan pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan wakil rakyat sebagai pembuat peraturan wajib berdakwah dengan ‘tangannya’, dengan kekuasaannya. Setelah kognitif dan afektif mereka terbangun oleh para kiai dan juga media massa, kini saatnya pemerintah mempengaruh aspek psikomorik mereka, untuk berhenti menenggak miras. Ini adalah saat tepat sebelum semuanya terlambat. 

Dalam kasus para pecandu miras yang telah akut, dakwah lewat kekuasaan akan jauh lebih efektif dengan catatan tidak setengah hati dan bersikap pandang bulu. Pemerintah dan wakil rakyat harus mampu membuat peraturan yang benar-benar tepat dan tegas, diikuti dakwah para penegak hukum dengan mewujudkan aturan itu di lapangan secara konsisten. 

Hemat penulis, dakwah melalui kekuasaan inilah yang akan berandil besar untuk menghentikan para pecandu miras dari kebiasaan buruknya, dan membawa mereka ke gerbang kehidupan yang lebih benderang. Sayang bila mereka dibiarkan terpuruk ke dalam lembah yang lebih dalam, padahal mereka adalah aset bangsa harapan negara. Menyelematkan mereka, juga berarti menyelamatkan negeri ini, yang telah begitu berat dengan beban bencana dan penyakit sosial.

Jangan Sekadar Membatasi
Niat pemerintah dan para wakil rakyat di Kota Bandung untuk meminimalisir minuman beralkohol layak mendapat apresiasi banyak pihak. Sumbangsih pemikiran para ulama, cerdik-cendekia, dan para pecandu miras yang sudah insyaf sudah semestinya diserap dan menjadi bahan pertimbangan. Diharapkan, peraturan yang dibuat bisa benar-benar membumi dan efektif diterapkan. Bukan sekadar asal ada, tanpa ada tujuan dan target serius untuk memberangus miras. 

Bila menyimak Pikiran Rakyat (5/6), jelas bahwa pertama, tujuan Pansus IV DPRD Kota Bandung yang kini tengah menggodok Raperda Pengendalian Minuman Beralkohol, bukan untuk memberangus miras, tetapi sebatas membatasi. Kedua, munculnya kesulitan untuk menempelkan label keharaman miras di tiap botol minuman beralkohol. 

Melihat tujuannya, tentunya kita paham, Pansus memang tidak bermasud memberangus miras. Tujuan yang setengah hati ini, tentunya tidak akan berbuah optimal. Miras akan tetap tersebar, kendati hanya di tempat-tempat tertentu. Entah apa yang menjadi alasannya sehingga hanya cukup dengan dibatasi. Apa ada sesuatu yang menguntungkan atau menggiurkan? Wallahu a’lam. Padahal, minuman keras adalah sesuatu yang jauh lebih banyak madaratnya dibanding manfaatnya. Tapi sayangnya, para wakil rakyat kita masih saja bersikap setengah hati. Sebuah ironi yang semestinya tidak terjadi, bila mereka ini berpihak pada keputusan untuk kebaikan bangsa dan kemajuan negeri ini.

Dampak buruk minuman sesungguhnya sudah bukan wacana lagi, justru telah menjadi bukti konkrit yang tak terbantahkan. Bukan hanya korban tewas yang terus berjatuhan, tetapi juga dampak-dampak buruk lainnya yang sudah banyak kita amati. Masihkan kita akan bersikap setengah hati? Seharusnya tidak, bila kita bermaksud membangun bangsa secara sungguh-sungguh, Raperda yang dibuat harus secara tegas melarang dan mengharamkan minuman keras. Yang perlu kita lakukan tidak cukup hanya dengan membatasi, yang kita butuhkan adalah menutup habis semua pintu bagi terbukanya peredaran dan penjualan minuman keras. 

Tak Cukup Label Haram
Karena memang tujuan Raperda sebatas membatasi, yang kini menjadi wacana adalah soal label haram. Label haram, kalau pun jadi ditempelkan, sejatinya tidak akan banyak berpengaruh. Seperti halnya label bahayanya rokok yang dituliskan di bungkus rokok, maka label haram yang ditempelkan di botol miras juga bakal tidak efektif. Bagi para pecandu miras, label haram yang terpasang hanya akan menjadi ‘cemoohan’ dan ‘guyonan’ terhadap sikap mendua para pembuat kebijakan, yang mengharamkan sekaligus ‘menghalalkannya’.
Untuk menghentikan kecanduan para penenggak minuman miras hanya efektif dengan menghilangkan dan meniadakan minuman keras itu sendiri. Pemisalan berikut mungkin tepat: “Jangan jamu lelaki hidung belang dengan perempuan cantik nan seksi, bila kita tidak menghendaki mereka menggodanya.” Minuman keras bagi para pecandunya, kendati dilabeli haram, tetap akan membuatnya tergoda dan tergiur untuk meneguknya. Karena itu, jalan terbaik adalah dengan menghilangkan dan meniadakannya sama sekali. 

Label haram hanya akan efektif bagi mereka yang taat beragama. Bagi kelompok ini, bahkan tanpa label haram pun, bila tahu yang ditawarkan itu minuman keras jelas tidak akan tergoda untuk mencicipinya. Di dalam dirinya sudah ada benteng iman yang mengendalikannya. Namun bagi mereka yang tidak taat beragama dan sudah kecanduan minuman keras, sebesar apa pun label itu ditempelkan, tidak akan banyak berpengaruh. Benteng imannya rapuh dan keropos. Label haram itu, paling banter pun sebatas informasi semata. Tak akan mampu menghentikan mereka untuk ‘berpesta miras’. Karena itu, jalan terbaik, adalah selamatkan mereka dengan sepenuh hati, bukan setengah hati.

Raperda yang tengah dirancang mesti dikaji ulang untuk diformulasikan kembali guna menutup habis semua pintu dan peluang peredaran minuman keras. “Stop Legalilasi Miras,” teriak para demonstran, adalah seruan yang rasional, masuk akal, dan beradab. Sebaliknya, sikap mendua dalam soal miras menujukkan bahwa kita tidak bersungguh-sungguh menyelematkan generasi bangsa. Kebijakan dan peraturan yang ambigu akan mengundang prasangka buruk.***

Penulis, pemerhati media,
& dosen Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
UIN SGD Bandung.

Diposkan Oleh Kampus Kita Oke -- Lentera Dakwah

Enjang Muhaemin Kesediaan Anda membaca artikel MIRAS, LABEL HARAM, DAN DAKWAH KEKUASAAN. merupakan kehormatan bagi saya. Anda diperbolehkan mengcopy-paste atau menyebarluaskan artikel ini, dan jangan lupa meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.

:: SILAKAN KLIK DAN BACA TULISAN LAINNYA ::

Diposting oleh Kampus Kita Oke
Lentera Dakwah Updated at: Sabtu, Juli 24, 2010