Anas Menang Bukti “Sihir” Media Melemah?

Oleh Enjang Muhaemin

KEBERHASILAN Anas Urbaningrum mengalahkan dua rivalnya, Andi Mallarangeng dan Marzuki Ali, pada Kongres II Partai Demokrat yang baru lalu dipandang sejumlah pihak sebagai refleksi kegagalan dan ketidakberdayaan media massa. Beragam argumen mengemuka dan menjadi kajian menarik, bukan hanya bagi para pemerhati media, tetapi juga masyarakat awam. Benarkah?


Propaganda dan promosi diri yang relatif jor-joran dengan menggunakan media massa yang dilakukan Tim Sukses Andi Mallaranggeng berbuah kekecewaan. Tragisnya, Andi bukan hanya kalah di putaran pertama, tetapi juga hanya meraih suara kurang dari 1/5 pemilih. Parahnya lagi, suara pemilih Andi pada putaran pertama, juga gagal ‘disumbangkan’ secara utuh ke Marzuki Ali pada putaran kedua, kendati Andi merekomendasikannya secara blak-balakan.

Padahal, bila saja suara Andi utuh ‘melimpah’ ke Marzuki Ali, maka sudah jaminan kemenangan akan ada di kubu Marzuki Ali. Tapi sayangnya, realitas justru membuktikan lain. Suara Andi malah lebih banyak ‘berhamburan’ ke Anas Urbaningrum dibanding ke Marzuki Ali. Ini tentunya menjadi ‘tamparan’ telak untuk kesekian kalinya bagi Andi Mallarangeng. Bagai kata sebuah peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Nasib Andi sebagai figur yang sudah merasa di atas angin memang mengenaskan.

Dikatakan mendapat ‘tamparan’ beruntun, karena pertama, rekomendasi Ibas agar peserta kongres memilih Andi tidak digubris peserta kongres. Rekomendasi Ibas, yang notabene putra SBY ini, sejak awal sebenarnya dipandang sebagai sinyal kuat atas ‘persetujuan’ SBY. Andi dipandang sebagai kandidat tepat untuk menakhodai Partai Demokrat. Rekomendasi Ibas nyatanya juga tak berbuah, ini tamparan pertama. Tamparan kedua, adalah optimisme tinggi akan meraih kemenangan, karena diyakini telah berbuat hebat dengan penggunaan media massa, sebagai alat untuk membangun citra dirinya dan menarik simpati pemilih, lagi-lagi berbuah kekecewaan.

Politik pencitraan menggunakan media massa, yang diistilahkan Alfan Alfian dengan sebutan ‘serangan udara’ dan kekuatan elite yang hanya mengandalkan restu, tidak bisa dijadikan senjata untuk memenangkan pertarungan politik internal partai. “Justru, ‘serangan darat’ lebih ampuh, karena berkomunikasi langsung dengan peserta kongres yang memiliki hak suara,” kata pengamat politik Alfan Alfian. (Pikiran Rakyat, 29/5)

“Sihir’ Media Massa

Yang menarik diperbincangkan, benarkan kekalahan Andi dalam pemilihan sebagai bukti ketidakberdayaan propaganda yang dilakukan media massa atau sebaliknya? Pandangan pertama, berpendapat, “Ya, betul! Media terbukti impoten.” Secara selintas sepertinya benar pernyataan yang menyebutkan bahwa media massa telah ‘impoten’ mempengaruhi pemilih kongres. Pasalnya, terbukti bahwa propaganda yang nyaris ‘habis-habisan’ hanya menguras fulus tanpa menghasilkan buah keberhasilan. Posisi ketua umum yang dibayangkan sebagai pintu gerbang menuju istana negara pada Pilpres 2014 gagal total.

Pandangan kedua menilai bukan medianya yang impoten, tetapi ketidakmampuan tim sukses Andilah yang gagal merancang strategi yang tepat di dalam penggunaan media massa. Media tetap memiliki kekuatan ‘sihir’ yang mampu mengendalikan pemilih. Hanya saja ketika kekuatan ‘sihir’ itu dihembuskan ke sasaran yang tidak tepat maka hasilnya pun akan jauh menyimpang. Karena sasarannya tidak tepat, maka yang terkena ‘sihir’ media pun bukan yang menjadi target.

Walhasil, ‘sihir’-nya sih tetap ampuh, hanya saja sasaran saja yang keliru. Bukan ‘penyihirnya’ yang impoten, juga bukan ‘sihirnya’ yang tidak ampuh, tetapi pemesan ‘sihir’-lah yang salah menyampaikan siapa yang harus “disihir”. Akibatnya yang kena sihir bukan objek yang dibidik, bukan target yang dijadikan sasaran, tetapi objek lain yang sama sekali tidak memiliki hak pilih dalam kongres tersebut. Iklannya ada hampir di semua televisi yang disaksikan oleh masyakarakat Indonesia. Iklan Andi tak ubahnya kampanye untuk Pilpres saja. Padahal yang memiliki hak suara hanyalah 500-an orang, dan itu pun hanya orang-orang khusus di internal Partai Demokrat saja.

Amsal lain yang dapat digunakan kampanye Andi itu, tak ubahnya orang yang membunuh nyamuk yang ada di Singaparna dengan meledakkan bom atom di Singapura. Hasilnya, jelas menjadi sia-sia. Nyamuknya tidak mati, biaya yang dikeluarkannya juga luar biasa besarnya. Pendeknya, selain tidak efektif, juga tidak efisien. Ini menunjukkan strategi yang digunakan Andi, bukan hanya tidak tepat, juga tidak efeisien, penghamburan biaya yang tidak semestinya terjadi. Dalam cara pandang kelompok ini sangat sederhana dan masuk akal. Kalau mau membunuh nyamuk cukup menggunakan Baygon, misalnya, dan menyemprotkan pada tempat nyamuk itu berada. Selain harganya murah, nyamuknya pun insya Allah akan mati. Selain efektif, juga efesien.

Tidak Sim Salabin atau Abra Dakabra

Dengan cara pandang yang sedikit berbeda, sebenarnya, penulis berpendapat bahwa kemenangan Anas, kekalahan Andi dan Marzuki justru mengindikasikan bahwa daya pengaruh dan ‘sihir’ media massa cukup luar biasa. Hanya saja, yang patut dicatat, bahwa publikasi para calon kandidat yang ‘dipromosikan’ media massa jauh hari sebelum pencalonan diri sesungguhnya telah menyimpan rekam jejak yang amat kuat di benak publik media. Termasuk para peserta kongres Partai Demokrat. Publik media sudah mengantongi track record ketiga kandidat itu jauh-jauh hari sebelum didengungkan dan dicalonkan sebagai kandidat yang dijagokan.

Pencitraan diri para kandidat itu sejatinya sudah dibangun secara alami oleh dirinya masing-masing sejak mereka naik menjadi publik figur, dengan relatif tanpa ada rekayasa media massa. Dalam konteks ini, media massa hanya menyodorkan kepada khalayak tentang apa, siapa, mengapa, di mana, dan bagaimana. Unsur-unsur yang dalam dunia jurnalistik disebut dengan 5W+1H itulah yang sejatinya telah membangun pencitraan diri mereka jauh-jauh hari. Pencitraan yang bersifat alami tanpa ada rekayasa media massa inilah yang pada akhirnya mampu melekat kuat di benak khalayak. Daya ’sihir’ media massa inilah, yang sejatinya mampu merontokkan ‘sihir-sihir’ kamulflase yang direkayasa media massa.

Jalan pintas pencitraan diri dengan hanya menggunakan baliho, spanduk, iklan dan sejenisnya sebenarnya amat tidak efektif bila pencitraan diri yang telah dibangun secara alami sejak jauh hari telah dipublikasikan dan ‘disihirkan’ media kepada khalayak. Ibarat produk yang dipublikasikan dan diiklankan akan berpengaruh atau tidak, akan sangat tergantung pada citra produk itu sebelumnya. Bila produk yang diiklankan itu telah diketahui kekurangannya, sehebat apapun iklan itu, maka hasilnya akan nihil. Akan lain hasilnya bila yang diiklankan itu adalah produk yang bagus, berkualitas, dan tidak diketahui kekurangannya. Iklan, baliho, spanduk, dan sejenisnya akan berpengaruh dan memperteguh konsumen untuk membeli produk tersebut. Dalam hal ini, media berfungsi sebagai peneguh dan pengokoh citra produk sebelumnya. Walhasil, pencitraan diri sejatinya bukan hasil sim salabin atau abra dakabri, tetapi melalui proses panjang, berliku, dan sarat perjuangan.

Dalam pespektif komunikasi, daya pengaruh yang disuntikkan kepada publik media sama halnya dengan obat penyembuh yang disuntikkan dokter kepada seorang pasien. Tidak semua pasien sembuh dalam waktu cepat dan sekejap. Butuh waktu yang sepadan antara kemujaraban obat dengan tingkat penyakit yang diderita pasien. Bahkan bukan mustahil obat saja tidak akan mampu menyembuhkan pasien bila racun yang tersebar dan menjalar ke dalam tubuh pasien sudah ganas. Racun bagi tubuh sama dengan ‘informasi buruk’ yang sudah terekam oleh benak masyarakat. Untuk memulihkannya tentu tidak cukup satu dua bulan dengan hanya menggunakan obat yang biasa-biasa saja. Selain butuh diagnosa yang akurat, dokter yang profesional, juga obat yang super mujarab. Bahkan bila perlu dilakukan bedah besar-besaran untuk mengangkat racun yang sudah tumbuh akut di dalam tubuh.

Euforia Kemenangan Obama

Keberhasilan Anas menduduki jabatan Ketua Umum Partai Demokrat juga tidak mau tidak, terkait dengan euforia kemenangan Obama pada Pilpres Amerika belum lama ini. Obama yang cerdas, energik, santun, muda, dan nyaris tanpa cela menjadi prototipe impian yang gaungnya terus menguat di kalangan politikus muda Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang memprediksi, pada Pilpres 2014, yang akan memiliki kans kuat memimpin negeri ini adalah tipikal Obama. Tidaklah mengherankan bila kemudian banyak politikus muda Indonesia berusaha keras menggolkan tokoh muda di partainya untuk menjadi ketua umumnya.

Momentum politikus muda untuk menakhodai partai politik di Indonesia tampaknya akan menjadi tren yang tak terbendung. Kendati politisi tua mencoba mengganjalnya, kelihatannya akan gagal. Prediksi ini berdasarkan pada beberapa indikasi yang mulai terlihat secara kasat mata. Pertarungan pada Pilpres 2014 tidak mau tidak akan memunculkan capres-capres baru yang masih muda, energik, cerdas, santun, dan bersahaja. Masa kejayaan politisi tua dipandang sudah habis, the end. Bila pun masih ada partai yang berani menjagokan tokoh tua, maka kuat dugaan akan tersingkir, dengan sendirinya atau dengan cara ‘keterpaksaan’. Di tengah euforia “yang muda yang memimpin”, maka daya tawarnya politisi tua akan semakin melemah.

Tak hanya itu, euforia kemenangan Obama juga belum akan sirna, bahkan menjelang Pilpres 2014, gemanya akan semakin kuat. Dalam konteks inilah, para politikus muda di banyak partai politik sebenarnya tengah menjadi ‘ancaman’ berat bagi para politisi tua. Kondisi tersebut tentunya menyulitkan para politikus tua. Ibarat pepatah, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Ketajaman analisis, kearifan, dan ‘ijtihad’ politik para politisi tua dituntut tidak main-main. Mencegal atau mendorong, tentunya bukan pilihan yang mudah.

Akhirul kata, kemenangan Anas menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat sepertinya tidak terlepas dari faktor-faktor di atas, yang tentunya, satu sama lain saling menguatkan. Keberhasilan Anas, tampaknya akan mendorong para politikus muda di partai lain untuk ‘merebut’ dan ‘berebut’ posisi jabatan ketua umum. Benarkah? Mari kita lihat saja!***

Penulis, pemerhati media,

& Dosen Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

UIN SGD Bandung.


Diposkan Oleh Kampus Kita Oke -- Lentera Dakwah

Enjang Muhaemin Kesediaan Anda membaca artikel Anas Menang Bukti “Sihir” Media Melemah?. merupakan kehormatan bagi saya. Anda diperbolehkan mengcopy-paste atau menyebarluaskan artikel ini, dan jangan lupa meletakkan link di bawah ini sebagai sumbernya.

:: SILAKAN KLIK DAN BACA TULISAN LAINNYA ::

Diposting oleh Kampus Kita Oke
Lentera Dakwah Updated at: Jumat, Juli 23, 2010