Internet, Bagai Pedang Bermata Dua

Internet sebagai media, tak ubahnya bagai pedang bermata dua. Bisa digunakan untuk kebaikan, bisa pula digunakan untuk kejahatan.

Lima Pola Pemecahan Masalah

Setiap manusia, tentunya memiliki masalah (problem). Dan tampaknya, tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini, yang hidup tanpa masalah.

Gelisah Karena Pujian

Mendengar berbagai pujian, si alim menjadi gelisah. Jangan-jangan dirinya rajin beribadah bukan karena Allah, melainkan karena orang-orang memujinya sebagai orang alim.

Akademisi Ilmuwan Dakwah di Era Internet

Sebagai pilar terdepan, akademisi ilmuwan dakwah idealnya berdiri paling depan dalam gerbang pertarungan global.

Ketimpangan antara Intelektualitas dan Moralitas

Di dunia pendidikan, manusia dibentuk dan dicetak bukan sekadar untuk menjadi cerdas, dan terampil semata, tetapi juga berakhlak mulia.

Ketimpangan antara Intelektualitas dan Moralitas

Oleh Enjang Muhaemin

ISLAM memandang pentingnya pendidikan tersebar di banyak ayat dan hadits. Islam menilai pendidikan sebagai langkah mutlak di dalam membentuk watak dan tabiat manusia yang paripurna. Di dunia pendidikan, manusia dibentuk dan dicetak bukan sekadar untuk menjadi cerdas, dan terampil semata, tetapi juga berakhlak mulia.


Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi, tentunya memiliki tugas yang tidak ringan. Misi berat yang diembannya ini mestinya mendorong manusia untuk mampu mendidik diri menjadi makhluk yang terpilih. Dalam konteks inilah, visi dan orientasi pendidikan yang komprehensif menurut perspektif ajaran Islam menjadi sangat penting.


Dengan berpijak pada konsep bahwa manusia diciptakan tiada lain kecuali untuk beribadah (QS. Al-Dzariat: 56), dan berfungsi sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30, dan Hud : 61), maka pendidikan dalam Islam sebagaimana dikatakan Muhammad Quthb dalam Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, ditujukan untuk membina manusia baik secara pribadi maupun kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Al-Qur’an, kata M. Quraish Shihab, untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah.


Al-Qur’an, yang secara kategorikal telah mendudukkan manusia dalam dua fungsi pokok , yakni sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di muka bumi), maka muatan fungsional edukatif mesti diorientasikan ke arah terwujudnya manusia yang mampu mengemban kedua fungsi tersebut.


Abdur Rahman Shalih Abdullah dalam Educational Theory, A Quranic Outlook (1982), bahkan menegaskan, manusia merupakan persoalan inti dalam proses pendidikan. Pernyataan tersebut paling tidak mengandung dua implikasi. Pertama, pendidikan perlu mempunyai dasar-dasar pemikiran filosofis yang memberi kerangka pandang holistik tentang manusia. Kedua, dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu meletakkan manusia sebagai titik tolak (starting point) dan sebagai titik tuju (ultimate goal) dengan berdasar pada pandangan-pandangan kemanusiaan yang telah dirumuskan secara filosofis (Tobroni dan S. Arifin, 1994 : 159).


Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, mengingat posisi manusia sebagai sentral dalam pendidikan, tidak mau tidak, kita mesti mengetahui terlebih awal masalah pandangan Islam tentang manusia. Ini penting, karena salah dalam memahami akan bersifat fatal, yang tentunya akan berakibat pada gagalnya pembentukan manusia ideal seperti dikehendaki Islam.


Tiga Istilah Kunci


Dalam Al-Qur’an, ada tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia: basyar, insan, dan an-nas. Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di pasar. Basyar disebut 27 kali (lihat al-Baqi, al-Mu’jam). Dalam seluruh ayat tersebut, kata Jalaluddin Rakhmat, basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis.


Penggunaan kata basyar dimaksudkan untuk menggambarkan manusia secara fisik. Dalam pengertian basyar, manusia dipahami dari apa yang nampak secara lahiriah dari seluruh proses evolusi kehidupannya. Ali Syari’ati dalam Man and Islam (1982) mengungkapkan bahwa manusia dalam pengertian basyar, adalah makhluk yang sekadar ada (state of being) secara fisologis.


Berdasarkan kata tersebut, walaupun manusia mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, namun sekadar serangkaian evolusi biologis-mekanistik sebagaimana juga dialami makhluk lainnya. Dengan demikian tidak jauh berbeda antara manusia dengan makhluk lain, jika kualifikasi manusia hanya sampai pada taraf basyar. (Tobroni dan S. Arifin, 1994).


Manusia sebagai makhluk, yang merupakan puncak ciptaan Allah dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95: 4), dituntut untuk hidup melebihi sekadar hidup secara fisiologis: makan,minum, kawin, lahir, dan lainnya. Manusia dituntut mampu mewujudkan dirinya lebih dari sekadar basyar. Manusia dalam konteks ini dituntut mampu mengembangkan suatu kehidupan yang menjadikan dirinya lebih bermakna secara etik dan moral, intelektual, dan kultural. Kehidupan manusia seperti itu disebut Al-Qur’an sebagai manusia dengan kualitas insan, kata Tobroni dan S. Arifin, yaitu kemampuan melepaskan diri dari determinasi biologis.


Insan disebut 65 kali dalam Al-Qur’an. Sesuai dengan pengertian dalam konteks kata insan, manusia dituntut menyadari bahwa kebermaknaan hidupnya akan tercapai apabila ia mampu mengaktualisasikan dirinya melalui aktivitas etik dan moral, intelektual dan kultural. Dalam pengertian demikian, maka yang lebih dipentingkan adalah kepekaan etik dan moral, ketajaman intelektualitas, dan keluasan visi dan kultural.


Kunci ketiga yang mengacu kepada makna pokok manusia, yakni al-nas. Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah, kata Jalaluddin Rakhmat, manusia yang paling banyak disebut Al-Qur’an, 240 kali. Bila manusia dalam konsep basyar berkaitan dengan unsur material, maka manusia sebagai insan dan an-nas bertalian dengan unsur hembusan Ilahi.


Untuk mengupas lebih dalam, kajian di atas tentunya tak dapat dilepaskan dari penelaahan tentang potensi fitrah manusia. Pasalnya, apa yang disebut potensi fitrah ini tergolong memiliki pengaruh yang dominan bagi kehidupan manusia dalam menjalankan fungsi kemanusiaannya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah-Nya.


Potensi fitrah, lazimnya dipahami sebagai potensi yang bercorak keagamaan. Pengertian ini dapat dicerna dari firman Allah dan hadits Nabi SAW berikut ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanief) kepada agama; fitrah ciptaan Allah yang Ia menciptakan manusia atas fitrah itu. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itu adalah agama yang benar (ad-dien al-qayyin). Tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.” (QS. Ar-Rum: 30); Hadits Nabi menegaskan: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”


Namun, Ibnu Taimiyah memberikan penafsiran yang lebih lengkap tentang potensi fitrah. Ia tidak membatasi potensi fitrah manusia pada potensi yang bersifat keagamaan semata. Dalam pandangannya, potensi fitrah memiliki tiga daya kekuatan: daya intelek (quwwah-al-‘aql), daya ofensif (quwwah al-sahwah), dan daya defensif (quwwah al-gadhab).


Daya intelek merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar mana yang salah. Lebih penting lagi, bahwa daya intelek demikian akan mampu menyampaikan manusia untuk bisa mengetahui (ma’rifah) dan mengesakan Allah.


Sementara itu, daya ofensif merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia, yang dengannya manusia mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat. Adapun daya defensif merupakan potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan bagi dirinya.


Tiga Aspek


Manusia sejalan dengan fitrahnya, yang cenderung pada kebenaran, kebaikan, dan agama yang lurus perlu dipupuk dan dibina secara baik. Satu di antara pembinaan dan pemupukan fitrah itu adalah melalui pendidikan. Namun demikian, dalam proses pendidikan, manusia harus dipandang sebagai makhluk yang selain memiliki unsur material (jasmani), juga harus dilihat sebagai makhluk yang memiliki unsur imaterial (akal dan jiwa).


Pendidikan yang menekankan pada aspek jasmaniah, akan menghasilkan manusia yang memiliki keterampilan. Pendidikan yang menekankan aspek aqliyah akan menghasilkan manusia berilmu. Sedangkan, pendidikan yang menekankan aspek jiwa akan melahirkan manusia yang berakhlak dan bermoral.


Terwujudnya manusia yang paripurna: cerdas, terampil, dan bermoral, tentunya membutuhkan pendidikan yang ditekankan pada ketiga aspek tadi, secara berimbang dan bersamaan. Tujuannya, agar tidak terjadi ketimpangan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya.


Sejalan dengan itu, masuk akal bila Abdur Rahman seperti yang dikutip Ali Maksum (1995) menekankan, pendidikan harus memiliki komponen: ragawi (jismiyah), akal (aqliyah), dan spiritual (ruhiyah). Jika ketiga komponen itu dapat mengkristal dalam diri peserta didik maka akan terbentuk pribadi yang komprehensif, baik dalam wujud interaksi dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.


Di kita dewasa ini, memang tidaklah mudah untuk mewujudkan pendidikan yang memperhatikan secara utuh ketiga komponen tersebut. Secara teoritis, ketiga komponen tersebut memang terjabar, namun secara empirik, pola dan model pendidikan yang memperhatikan tiga aspek itu tak diwujudkan secara baik. Tak heran bila dunia pendidikan di kita bisa dikatakan gagal di dalam mewujudkan manusia yang pintar sekaligus berakhlak mulia
Karena itu, rekonstruksi visi dan operasionalisasi pendidikan menjadi mutlak adanya. Ini terkait kesenjangan yang semakin menganga antara keberhasilan pendidikan dalam aspek intelektualitas dengan rendahkanya akhlak dan moral di negara kita ini. Aspek intelektualitas, memang boleh dikatakan cukup berhasil. Namun menyangkut aspek moralitas, sungguh sangat memprihatinkan.


Ketimpangan antara intelektualitas dan moralitas itu terbukti secara konkrit di sekitar kita. Bila ini dibiarkan, maka figur manusia yang pandai tapi tak bermoral akan semakin banyak. Indikasi maraknya korupsi, manipulasi, kolusi, perselingkuhan, seks bebas, dan sebagainya merupakan refleksi dari ketimpangan pendidikan antara aspek intelektualitas dengan aspek moralitas yang menganga lebar.


Indonesia yang mayoritas muslim, kita tentu harus bertanggung jawab terhadap masa depan generasi bangsa yang notabene kini tengah digodok di dunia pendidikan. Akankah kita rela meninggalkan generasi muda penerus bangsa yang hanya bermodalkan kecerdasan tanpa dibarengi keluhuran akhlak dan moralitas yang baik?


Pendidikan yang terlalu menekankan intelektualitas dengan mengabaikan faktor morallitas sudah seharusnya dikaji ulang. Jenderal Purn. AH Nasution dalam bukunya Pembangunan Moral Inti Pembangunan Nasional, memberikan nasihat yang sepatutnya kita simak. Menurutnya, negara sesungguhnya berdiri karena budi pekerti. Ketika akhlak pergi, negara pun akan musnah dengan sendirinya.


Pendidikan sebagai unsur penting dalam pembangunan jelas memiliki relevansi yang penting dengan keberadaan sebuah negara. Melalui pendidikan yang tidak memperhatikan aspek moral, maka hati-hatilah, negara bisa musnah. Karena itu, mengkaji ulang dunia pendidikan pada saat ini, bukan hanya penting tapi juga mendesak.***

Penulis, Staf Pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunang Gunung Djati Bandung

Diposting oleh Kampus Kita Oke
Lentera Dakwah Updated at: Kamis, Februari 26, 2009

Peduli Terhadap Kaum Dhuafa

Oleh Enjang Muhaemin

Kepedulian sosial merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam. Sebagai agama yang agung dan luhur, Islam mendorong umatnya untuk selalu peka pada penderitaan kaum dhuafa dan peduli membantu orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Banyak ayat dan hadits yang mesti dijadikan pengingat kelalaian dan kealpaan kita dalam membantu dan mencintai orang-orang yang fakir dan miskin.

Dalam al-Hasyr ayat 7 kita diingatkan bahwa harta kekayaan tidak boleh berputar hanya di tangan kelompok kaya saja. Dalam az-Zariyat ayat 19, Allah SWT pun menegaskan bahwa di dalam kekayaan kita sesungguhmya terdapat hak golongan fakir miskin.
Peringatan di atas sudah selayaknya menyadarkan kita dari keserakahan terhadap yang dianugerahkan Allah. Kehidupan kita yang bergelimang harta tak seharusnya melupakan kehidupan orang-orang yang menderita di sekitar kita.

Egoisme dan sikap masa bodoh mesti dikikis dari jiwa muslim sejati. Sebaliknya, sikap pemurah, belas kasih, dan suka menolong layak untuk untuk terus ditumbuhkembangkan. Baginda Rasulullah SAW telah memberikan keteladanan yang patut ditiru dan diikuti.

Diriwayatkan bahwa seorang lelaki meminta kepada beliau, lalu ia memberinya sekawan kawan di antara dua buah bukit. Kepedulian dan kecintaan beliau terhadap orang-orang miskin tak lagi dapat dipungkiri. Demi orang miskin, beliau tak ragu untuk membantunya.

Suatu hari, seseorang menghadap beliau dan meminta sesuatu. Beliau bersabda, “Tidak ada sesuatu padaku, akan tetapi belilah kamu sesuatu atas namaku, apabila datang kepada kita sesuatu kita akan melunasinya.”

Sungguh suatu teladan yang mengagumkan. Sekalipun beliau bukan seorang konglomerat, bukan orang yang kaya raya dan bergelimang harta benda, toh beliau peduli dan memberikan perhatian penuh.

Di tengah kekayaan yang kita miliki, adakah getar hati untuk mengikuti serta meneladani sikap Rasulullah SAW terhadap kaum dhuafa? Ingatlah pada sabda beliau, “Serahkan sedekahmu sebelum datang suatu masa ketika engkau berkeliling menawarkan sedekahmu. Orang-orang miskin akan menolaknya seraya berkata, ’Hari ini kami tidak perlu bantuanmu, yang kami perlukan adalah darahmu’.”

Fenomena realitas yang muncul belakangan ini merupakan indikator ke arah itu. Prediksi Rasulullah SAW sudah seharusnya kita renungi. Munculnya tindak kekerasan, perampokan di siang bolong, kejahatan yang sudah tidak mempedulikan lagi darah dan nyawa korban, boleh jadi merupakan tanda-tanda dari rendahnya tingkat kepedulian kita terhadap kaum dhuafa.

Fasilitas Menuju Surga

Harta kekayaan adalah amanat dan ujian. Sebagai amanat, harta kekayaan mesti dipelihara dan dijaga penyalurannya agar tidak jatuh pada jalan kemaksiatan. Sebagai ujian, harta kekayaan adalah sesuatu penentu masa depan kita di akherat: surga atau neraka. Ini artinya bahwa harta kekayaan yang kita miliki: dari mana asalnya dan bagaimana penyalurannya akan menentukan posisi kita kelak.

Harta kekayaan yang berasal dari usaha yang halal dan disalurkan untuk kepentingan amal shaleh, termasuk di dalamnya membantu orang-orang miskin, maka bagi pemiliknya akan ditempatkan Allah SWT di surga. Rasulullah SAW menegaskan, “Segala sesuatu ada kunci, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin.”

Bagi hartawan, harta kekayaan dan kaum dhuafa merupakan “proyek” kebahagiaan di akherat kelak. Kelompok yang kaya raya, mestinya bersyukur karena dilimpahkan Allah kepadanya alat dan fasilitas menunju surga. Kebahagiaan di akherat jauh lebih baik dibanding kebahagiaamn yang di dunia yang serba nisbi dan relatif.

Sebaliknya, harta yang diperoleh dari usaha yang haram, atau harta halal yang disalurkabn tidak sejalan syariat Islam maka baginya siksa neraka yang berat tiada tandingannya. Tidak peduli pada orang-orang miskin merupakan satu di antara sebab kesalahan kita dalam menyalurkan harta kekayaan. Tak aneh bila orang kaya yang mengabaikan orang miskin dianccam dengan neraka sebagai tempat kembali.

Rasulullah SAW mengingatkan, “Kelak di hari akherat, ketika penduduk neraka ditanya penghuni surga mengapa mereka masuk neraka, mereka menjawab, “Dahulu kami tidak melakukan shalat, dan tidak memberi makan orang miskin.”

Karenanya, siapa pun kita sudah segera menyadari untuk peduli pada orang-orang miskin. Di sekitar kita, masaih banyak yang hidupnya pas-pasan, bahkan yang sedikit kekurangan. Masih banyak saudara kita yang hanya untuk makan saja perlu ngutang sana ngutang sini. Tidak tergetarkah hati kita untuk membantunya?

Insya Allah, harta kekayaan yang kita sedekahkan tidak akan membuat kita jatuh miskin. Bahkan harta kekayaan kita akan terus melimpah dan bertambah. Demikian itu, adalah realitas yang kerap sulit dipahami banyak orang.

Untuk menjadi seorang mukmin yang baik, berkait dengan kepedulian kita terhadap kaum dhuafa, sabda Rasulullah SAW berikut sepatutnya kita renungkan: “Bukan mukmin, seseorang yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Barangkali inilah sepercik renungan di tengah kejahatan yang semakin merebak.***

Penulis, Staf Pengajar UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Yayasan Galuh Taruna Bandung.

Diposting oleh Kampus Kita Oke
Lentera Dakwah Updated at: Kamis, Februari 26, 2009